Sudah Puluhan Tahun Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Masih Melekat Di Keluarga Suharto
Pasca Soeharto lengser dari kursi Presiden RI pada 21 Mei 1998, gerakan mahasiswa tak berhenti. Mereka menuntut penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu dan keluarganya diadili. Keluarga Soeharto yang tinggal di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat dianggap sebagai simbol praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sejak Soeharto lengser 20 tahun lalu, keluarga Cendana nyaris tak pernah merespons tuduhan tersebut. Hingga akhirnya pada Kamis malam kemarin, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut angkat bicara.
Putri sulung mendiang Presiden ke-2 RI Soeharto itu membantah semua tudingan tersebut. "Kami tahu bapak tidak seperti itu. Dibilang korupsi, korupsi dari mana, duit dari mana?," kata Tutut
Ada juga, lanjut Tutut, yang menyebut bahwa uang Soeharto disimpan di negara tertentu. "Bapak kan bilang silakan cari uang itu kalau ketemu saya akan tandatangani silakan ambil uang itu," kata dia.
Di era Presiden BJ Habibie, Jaksa Agung Andi M Ghalib sempat berangkat ke Swiss untuk melacak harta Soeharto. Namun hasilnya nihil sehingga akhirnya dia mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) pada 11 Oktober 1999.
Terkait tudingan kolusi dan nepotisme terhadap dirinya serta adik-adiknya, Tutut pun memberikan bantahan. Menurut dia, dirinya dan adik-adiknya harus menghidupi keluarga masing-masing. Sementara negara tidak menjamin kehidupan mereka. "Terus dari mana kami makan?" kata Tutut.
Sehingga kemudian Tutut dan adik-adiknya menjalankan usaha sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Mereka mengajak kolega untuk menjalankan bisnis.
Dalam menjalankan bisnis Tutut mengaku dia dan adik-adiknya tak pernah mendapatkan bantuan dari sang ayah yang seorang presiden. Bahkan beberapa kali perusahaan Tutut kalah tender proyek pemerintah.
"Mbok itu ditanya ke menteri-menteri yang dulu, dirjen-dirjen yang dulu. Apa pernah bapak saya itu bikin surat katabelece bantu anak saya, gak pernah," kata Tutut.
Bahkan Tutut mengaku Soeharto akan marah ke anak-anaknya jika meminta keistimewaan kepada para menteri.
No comments: